Rabu, 02 Februari 2011

TUBERCULOSIS PARU

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Definisi
      Penyakit tuberculosis adalah penyakit menular dengan kasus yang paling sering (sekitar 80%) menyerang paru-paru dan 20% kasus dapat terjadi pada organ tubuh lainnya. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Penyebab penyakit tuberculosis  adalah suatu basil Gram positif tahan asam dengan pertumbuhan yang sangat lambat yaitu bakteri Mycobacterium tuberculosis. Gejala penyakit tuberculosis antara lain adalah batuk kronis, demam, keringat malam hari, keluhan pernafasan, perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lender (mucoid), purulent atau mengandung darah.

1.2  Epidemiologi
      Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia. Penyakit tuberculosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang. Setiap tahunnya, di Indonesia bertambah  seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Menurut WHO (1999), di Indonesia setiap tahun terjadi 583 kasus baru dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif pada dahaknya. Sedangkan menurut hasil penelitian kusnindar 1990, Jumlah kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang pertahun
      Pada tahun 1995 pemerintah telah memberikan anggaran obat bagi penderita tuberkulosis secara gratis ditingkat Puskesmas, dengan sasaran utama adalah penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah. Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal.




BAB II
PATOMEKANISME


2.1  Etiologi
      Penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu tuberculosis paru dan tuberculosis ekstra paru. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80 % dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang mudah menular. Tuberculosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit TBC yang menyerang organ tubuh lain seperti pada kelenjar limpe, pleura, persendian tulang belakang, saluran kencing, dan susunan syaraf pusat.
      Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk identifikasi bakteri tahan asam. Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu atau setelah 6-8 minggu. Suhu optimum 37°C, tidak tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah Lowenstein-Jensen. PH optimum 6,4-7,0. Mycobacterium tuberculosis tidak tahan panas, akan mati pada suhu 6°C selama 15-20 menit. Biakan dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8-10 hari. Biakan basil tersebut dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari dengan suhu 20°C selama 2 tahun. Mycobacterium tuberculosis tahan terhadap berbagai khemikalia dan disinfektan antara lain phenol 5%, asam sulfat 15%, asam sitrat 3% dan NaOH 4%. Basil ini dihancurkan oleh yodium tinctur dalam 5 minit, dengan alkohol 80 % akan hancur dalam 2-10 menit.
      Golongan kuman mycobakterium tuberkulosis kompleks antara lain, yaitu: Mycobakterium tuberculosis, varian asian, varian african I, varian asfrican II, dan mycobakterium bovis. Kelompok kuman mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterial othetan Tb antara lain: Mycobacterium cansasli, mycobacterium avium, mycobacterium intra celulase, mycobacterium scrofulaceum, mycobacterium malma cerse, dan mycobacterium xenopi.

2.2  Patofisiologi
      Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.
      Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit ( biasanya sel T ) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).
      Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit ( Dannenberg 1981 ). Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul geja pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari.
      Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
      Lesi primer paru dinamakan fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus.
      Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi peradangan aktif.
      Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini disebut limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya.





BAB III
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


3.1  Pemeriksaan Fisik
      Penegakan diagnosis pada penyakit TB paru dapat dilakukan dengan melihat keluhan/gejala klinis, pemeriksaan biakan, pemeriksaan mikroskopis, radiologik dan tuberculin test. Pada pemeriksaan biakan hasilnya akan didapat lebih baik, namun waktu pemeriksaannya biasanya memakan waktu yang terlalu lama. Sehingga pada saat ini pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih banyak dilakukan karena memiliki sensitivitas dan spesivitas tinggi dan biaya yang rendah.
      Gejala Penyakit TB Paru dibedakan menjadi 2 bagian yaitu gejala umum dan gejala khusus. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
1). Gejala umum :
a). Demam tidak terlalu tinggi, berlangsung lama, umumnya dirasakan pada malam hari disertai keringat malam.
b). Terjadi penurunan nafsu makan dan berat badan.
c). Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu, dapat disertai dengan keluarnya darah dari paru-paru penderita. 
d). Badan lemah.
2). Gejala khusus :
a). Timbul bunyi (mengi) suara nafas melemah dan sesak nafas. Ini terjadi  sebagai akibat terjadinya sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar.
b). Keluhan sakit dada dikarenakan terdapatnya cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru).


3.2  Pemeriksaan Penunjang
3.2.1  Pemeriksaan Laboratorium
3.2.1.1  Bahan Pemeriksaan Laboratorium
      Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diperhatikan waktu pengambilan, tempat penampungan, waktu penyimpanan dan cara pengiriman bahan pemeriksaan. Pada pemeriksaan laboratorium tuberkulosis ada beberapa macam bahan pemeriksaan yaitu:
a). Sputum/dahak
      Harus benar-benar dahak, bukan ingus juga bukan ludah. Paling baik adalah sputum pagi hari pertama kali keluar. Kalau sukar dapat sputum yang dikumpulkan selama 24 jam (tidak lebih 10 ml). Tidak dianjurkan sputum yang dikeluarkan ditempat pemeriksaan.
b). Air Kemih
      Urin pagi hari, pertama kali keluar, merupakan urin pancaran tengah. Sebaiknya urin kateter.
c). Air kuras lambung
      Umumnya anak-anak atau penderita yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Tujuan dari kuras lambung untuk mendapatkan dahak yang tertelan. Dilakukan pagi hari sebelum makan dan harus cepat dikerjakan.
d). Bahan-bahan lain
      Misalnya nanah, cairan cerebrospinal, cairan pleura, dan usapan tenggorokan.

3.2.1.2 Cara Pemeriksaan Laboratorium
1. Mikroskopik
      Dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dapat dilakukan identifikasi bakteri tahan asam, dimana bakteri akan terbagi menjadi dua golongan:
a). Bakteri tahan asam,
      Bakteri yang pada pengecatan ZN tetap mengikat warna pertama, tidak luntur oleh asam dan alkohol, sehingga tidak mampu mengikat warna kedua. Dibawah mikroskop tampak bakteri berwarna merah dengan warna dasar biru muda.
b). Bakteri tidak tahan asam
      Bakteri yang pada pewarnaan ZN, warna pertama, yang diberikan dilunturkan oleh asam dan alkohol, sehingga bakteri akan mengikat warna kedua. Dibawah miskroskop tampak bakteri berwarna biru tua dengan warna dasar biru yang lebih muda.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
1). Tuberkulosis paru BTA positif.
a).  Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b). 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c). 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d). 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2). Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a). Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b). Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c). Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Kultur (biakan),
      Media yang biasa dipakai adalah media padat Lowenstein Jesen. Dapat pula Middlebrook JH11, juga sutu media padat. Untuk perbenihan kaldu dapat dipakai Middlebrook JH9 dan JH 12.
3). Uji kepekaan kuman terhadap obat-obatan anti tuberkulosis
      Tujuan dari pemeriksaan ini, mencari obat-obatan yang poten untuk terapi penyakit tuberkulosis.

3.2.3 Pemeriksaan Radiologis
       Lokasi lesi tuberculosis umumnya didaerah apeks paru (segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah). Akan tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau didaerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberculosis endobronkhial).
      Gambaran tuberculosis milier berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.  Akibat adanya penyebaran tuberculosis paru secara hematogen akan tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm, atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar merata dikedua belah paru. Pada foto toraks, tuberculosis miliaris ini dapat menyerupai gambaran “badai kabut” (snow storm appearance). Penyebaran penayakit tuberculosis paru ini juga dapat terjadi ke ginjal, tulang, sendi, selaput otak (meninges), dan sebagainya.
      Pada pemeriksaan radiologi, gambaran tuberculosis milier yang berupa bayangan-bayangan nodul-nodul halus dan kecil berbatas sangat tegas yang tersebar di seluruh lapangan paru. Besarnya pada tiap kasus berlainan, tetapi pada satu kasus biasanya sama besar. Bayangan-bayangan ini sebenarnya disebabkan oleh superposisi dari banyak tuberkel, dan ini mungkin sama sekali tidak mengakibatkan suatu bayangan sebelum jumlahnya cukup banyak atau besarnya cukup luas untuk menyebabkan suatu bayangan karena superposisi. Oleh karena itu radiograf mula-mula mungkin berbentuk normal, akan tetapi akan tampak bayangan-bayangan itu didalam kira-kira 2 minggu. Sementara didalam pengobatan, bayangan-bayangn hilang jauh sebelum tuberkel-tuberkel secara patologis benar-benar menghilang, sehingga sebaiknya pengobatan tetap diteruskan walaupun pasien telah merasa enak badan dan oleh karena gambaran radiologi telah menjadi normal. Mungkin ada tanda-tanda lain dari tuberculosis paru-paru seperti suatu kavitas, atau kelenjar-kelenjar hilus mungkin membesar.


BAB IV
PENATALAKSANAAN
4.1  Terapi Farmakologi
4.1.1 Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan TB Paru
      Pengobatan TBC merupakan masalah yang rumit mencakup waktu penyembuhan yang lama, kepatuhan disiplin penderita dalam menjalani pengobatan, daya tahan tubuh dan factor social ekonomi penderita. Ada banyak faktor penyebab yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan penyakit TBC, antara lain :
1. Sifat Bakteri
      Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri penyebab yang memperlihatkan kecepatan tumbuh yang lambat dan relative lebih resisten terhadap antibiotic bila dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya Sifatnya yang persisten mengakibatkan waktu pengobatan yang lama.   
2. Daya Tahan Tubuh
      Penelitian terhadap hewan percobaan memperlihatkan terdapat antibody yang spesifik terhadap bakteri ini. Penderita yang pernah terinfeksi seharusnya memiliki antibody dalam tubuhnya, namun  sebagian penderita dapat terinfeksi kembali beberapa tahun setelah terjadinya infeksi primer. Kemungkinan yang terjadi adalah mekanisme metabolic dalam tubuh dapat merusak imunitas, sehingga bakteri yang sudah lama ‘tidur’ (dormant) dapat bangkit kembali.
3. Kepatuhan Penderita
      Pemberian obat TBC menimbulkan kesembuhan klinis yang lebih cepat dari kesembuhan bakteriologik dan keadaan ini menyebabkan penderita mengabaikan penyakit dan pengobatannya. Pengobatan yang memerlukan waktu lama dapat menyebabkan penderita menghentikan pengobatannya sebelum sembuh, apalagi bila selama pengobatan timbul efek samping. Faktor pendidikan dan ekonomi serta sarana pelayanan kesehatan yang jauh dapat menyebabkan ketidak patuhan penderita akan pengobatan penyakitnya.          

4.1.2 Kategori Obat dan Pengobatan TBC
1. Kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT):
1). OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua) jenis berdasarkan sifatnya yaitu :
a). Bakterisidal
Termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin, pirazinamid  dan streptomisin.
                                b). Bakteriostatik
              Termasuk dalam golongan ini yaitu etambutol.
2). OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs),
      Terdiri dari Para-aminosalicylic Acid (PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin. OAT sekunder ini selain kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang dipakai lagi.
2. Pengobatan TBC
           Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah di implementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Pada tahun 2001, sekitar 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi DOTS diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan setiap hari.
     1). Pengobatan TBC pada orang dewasa:
a). Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
            Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).
                             Target sasaran:
                                    o Penderita baru TBC paru BTA positif.
                                    o Penderita TBC ekstra paru berat.
                          Dosis Obat Antituberculosis kategori 1

b). Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
                             Target sasaran:
                                    o Penderita kambuh.
                                    o Penderita gagal terapi.
o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
     Dosis Obat antituberculosis kategori 2

c). Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
                            Target sasaran :
o Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.
  2). Pengobatan TBC pada anak:
      Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu:
a). 2HR/7H2R2 :
      INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
                                    b). 2HRZ/4H2R2 :
      INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
      Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb.
      Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus:
a). TB tidak berat
                                         INH                        : 5 mg/kgbb/hari
                                         Rifampisin             : 10 mg/kgbb/hari
b). TB berat (milier dan meningitis TBC)
                                         INH                        : 10 mg/kgbb/hari
                                         Rifampisin             : 15 mg/kgbb/hari
     Dosis prednison     : 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)
  
                 3. Dosis obat anti tuberculosis
                     
          3. Prinsip pengobatan tuberculosis
a). OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b). Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
    1). Tahap awal (intensif)
a). Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b). Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c). Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2). Tahap Lanjutan
a). Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
b). Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

4.1.3 Pengobatan TBC Pada Keadaan Khusus
     1. Kehamilan
      Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
     2. Ibu menyusui dan bayinya
      Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
     3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
      Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
4. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
     Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip – prinsip Universal Precaution ( Kewaspadaan Keamanan Universal ) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Kónsul sukarela dengan test HIV)
5. Pasien TB dengan hepatitis akut
      Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
      Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari tiga kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE
7. Pasien TB dengan gagal ginjal
      Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
8. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
      Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
9. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
      Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: Meningitis TB, TB milier dengan atau tanpa meningitis, TB dengan Pleuritis eksudativa, TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
10. Indikasi operasi
      Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
Untuk TB paru: Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif, pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif, Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir. Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.



BAB V
PENCEGAHAN

5.1  Tindakan Pencegahan Penderita, Kontak dan Lingkungan.
     Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas
Kesehatan:
1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus harus diberikan vaksinasi BCG.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan social ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
7. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
8. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar